“Aku ki nelongso le…meruhi kahanan saiki, kok koyo ngene”
Kalimat itu meluncur dari mbah Harjo yang seorang veteran perang angkatan ‘45. Kata-kata itu keluar dari mulut mbah Harjo setelah obrolan ngalor ngidul dan sampai pada topik perang kemerdekaan.
Waktu itu sepulang dari masjid habis sholat maghrib kami berempat ngobrol di poskamling. Lewatlah mbah Harjo berjalan terbungkuk-bungkuk dan ikut nimbrung setelah kami panggil untuk leyeh-leyeh sebentar.
Mbah Harjo ini sosok tua bekas pejuang – veteran, kira-kira umurnya 75 tahun. Seorang yang sudah lanjut usia namun mempunyai semangat dan ketabahan yang luar biasa dalam hidup. Walaupun sudah sepuh namun masih suka bercanda, bergaul dengan siapa saja termasuk anak-anak muda di kampung dan sering berbagi pengalaman. Ingatannya juga masih tajam, terbukti beliau masih mampu mengingat pengalaman saat menjalani masa perang dulu. Hanya saja kemampuan penglihatan dan pendengarannya sudah agak berkurang. Kami memang biasa memperlakukan mbah Harjo ini seperti seorang sahabat, namun tetap menghormatinya.
Beberapa saat ngobrol, mbah Harjo terbatuk-batuk saat menghisap lintingannya (rokok) namun masih tetap dihisapnya rokok tersebut. Lalu dia menceritakan suka dukanya hidup bergerilya melawan para londo (Belanda – mbah harjo menyebutnya). Kadang tertawa saat sampai pada cerita lucu, namun kadang kami terdiam haru saat mbah Harjo bercerita dengan perasaan sedih.
Disela-sela batuknya, mbah Harjo berkata, “Aku iki nelongso le…meruhi kahanan saiki, kok koyo ngene” (_Aku ini sedih cu…melihat keadaan sekarang, kok seperti ini_). Lanjutnya, harapan kami para pejuang untuk melihat Indonesia makmur setelah merdeka kok belum kesampaian. Bahkan kami para bekas pejuang masih hidup susah seperti dulu. Kami yang dulu berjuang untuk negeri ini, sekarang tetap harus susah payah berjuang untuk hidup kami sendiri.
Kami semua terdiam merenungi kata-kata mbah Harjo. Memang benar sih, mbah Harjo masih harus banting tulang di sawah meski sudah serenta itu hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan istrinya yang juga pejuang, sementara uang pensiunnya pas-pasan.
Sambil berkaca-kaca, mbah Harjo juga berkata, bahwa tahun ini dia tidak bisa mengikuti upacara bendera 17 Agustus bersama kedua sahabatnya karena sudah lebih dulu dipanggil Yang Kuasa. “Dari tahun ke tahun, veteran yang mengikuti upacara bendera 17 Agustus di kecamatan semakin sedikit. Kursi di tribun kehormatan sudah banyak yang kosong”.
Lalu mbah Harjo menyalakan lintingannya lagi yang sudah tidak ada mowone (bara api). Kami semua saling diam sambil dalam hati membenarkan kata-kata mbah Harjo.
Mbah Harjo melanjutkan kata-katanya sebelum pulang ke rumahnya. Katanya Beliau tetap bangga pada Indonesia, bangga pada teman-teman seperjuangannya, bangga pada hidupnya dan bangga pada predikat veteran perang yang disandangnya. Sambil berdiri terbungkuk, mbah Harjo memberi wejangan agar kami kaum muda harus bisa berguna bagi Nusa dan Bangsa.
Sumber : http://liliek.muntilanation.org
Semoga hati anda sekalian terbuka oleh perkataan mbah Harjo ini.
Semoga bermanfaat.
INDONESIA MERDEKA...





0 komentar:
Posting Komentar